Resensi Karl May, Und Friede auf Erden

 

Judul Buku : Dan Damai di Bumi!
Judul Asli : Und Friede auf Erden!
Penulis : Karl May
Penerjemah : Agus Setiadi, Hendarto Setiadi
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) kerja sama dengan Paguyuban Karl May Indonesia
Cetakan : Kedua, Januari 2003
Tebal : 591 halaman (termasuk lampiran)

“… Ke mana pun saya pergi saya melihat dua kekuatan jahat yang mengarah ke sana, yaitu kesombongan agama dan keangkuhan nasional. Jika ada orang yang berkata bahwa Tuhan hanya menyayangi kulit putih dan menuntut cara tertentu untuk melipat tangan, maka orang itu sesungguhnya menghujat Tuhan, sebab ia menempatkan-Nya lebih rendah daripada manusia rata-rata.”

Kalimat di atas diambil dari petikan dialog dalam novel yang berjudul Dan Damai di Bumi! karya Karl May. Sebuah novel yang menggugat prasangka Barat terhadap Timur, dan sebaliknya. Sebuah novel yang mengecam orang, kelompok, atau bangsa yang membanggakan diri sebagai diistimewakan oleh Tuhan.

**

BAGI para penggemar cerita petualangan di Indonesia pada era tahun 1960-an, mungkin sudah tidak asing lagi dengan nama Karl May. Pengarang asal Jerman yang telah menghasilkan kurang lebih 80 karya selama 36 tahun perjalanan kariernya, telah memukau banyak pembaca di berbagai pelosok dunia dan mendapat sambutan yang luar biasa. Terutama karyanya tentang ‘pengembaraannya’ ke berbagai pelosok dunia digemari oleh semua kalangan tanpa memandang usia, jenis kelamin, kelas sosial, dan warna kulit. Sehingga tidak mengherankan apabila karya-karyanya tersebut telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia.

Salah satu novel karya May yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia ini merupakan karya May yang berlatar belakang Indonesia. Novel ini menceritakan pengalaman May selama melakukan perjalanan ke negeri-negeri Timur, mulai dari Kairo sampai Aceh.

Membaca novel yang berjudul asli Und Friede af Erden! ini kita tidak hanya disuguhi dengan aksi-aksi fisik tokoh-tokoh yang terlibat dalam novel ini, melainkan juga banyak renungan filosofis terutama tentang keagamaan dan ras. Si pengarang hendak menunjukkan kepada pembacanya bagaimana perbedaan agama, ras, warna kulit dan lain-lain sering menimbulkan kecurigaan dan prasangka. Prasangka inilah yang menggelincirkan umat manusia di antaranya degan menganggap agama yang ia anut atau suku bangsanya lebih baik, lebih hebat, lebih disayangi oleh Tuhan.

Seperti tokoh yang ditampilkan May dalam sosok seorang misionaris Kristen asal Amerika, bernama Waller. Misionaris ini ditugaskan ke Tiongkok untuk menyebarkan agama Kristen dengan ditemani putrinya, Mary. Waller, dalam novel ini digambarkan sebagai orang keras kepala dan yang selalu menganggap dirinya dan agama yan dianutnya paling benar. “…Saya tidak mengerti bagaimana mungkin seseorang menganut agama selain agama saya, satu-satunya agama yang benar. Tapi coba lihat mengapa begitu sedikit orang kafir yang bertobat? Karena kita tidak mempunyai keberanian! Di Negeri Cina kelak, setiap kali memasuki kuil saya akan menyerukan kepada kaum kafir bahwa mereka akan celaka untuk selama-lamanya kecuali jika mereka bertobat…”

Pandangan Waller yang selalu bicara tentang penghancuran tempat peribadatan agama non Kristen yang ia sebut dengan ‘kuil-kuil kafir’ yang dengan begitu tidak ada agama pun di dunia ini selain Kristen, mengusik pikiran May bahkan sampai terbawa mimpi. Sebagai tokoh ‘Aku’ dalam novel ini, May bermimpi. “Dalam mimpi saya melihat Mr. Waller melakukan berbagai hal, namun semuanya bersifat merusak. Ia merobohkan rumah, meruntuhkan pilar, menebang pohon, dan selalu menggenggam kapak atau lingis atau alat serupa. Saya melihat salib besar, kapel, gereja, kuil Yunani, India, siria, masjid, patung berhala, dan patung orang suci Kristiani; semua dihantamnya, dan tak satu pun lolos dari amukannya, bahkan yang Kristiani sekalipun. Ia bekerja bagaikan orang yang kerasukan, bermandikan keringat, sampai sebuah suara menggelegar: “Saulus, Saulus, mengapa engkau mengejarku?” Kemudian ia ambruk, dan saya terbangun.”

May pun mengecam kesalehan semu yang ditunjukkan oleh pembantunya Sejjid Omar yang muslim ketika tiba di Srilanka. Di mana penuduknya penyembah berhala, yang bagi Omar tidak boleh disentuh karena akan menodai dirinya. May mengatakan: Kita semua bersaudara. Kalaupun kita berbeda iman, apakah perbedaan itu bepengaruh pada tubuh kita? Bagaimana mungkin diri kita ternoda melalui sentuhan yang tak ada sangkut paut dengan kepercayan?”

Selain menentang pandangan yang saklek terhadap perbedaan agama, tak jarang May mengkritik pandangan stereotype Barat terhadap bangsa Timur, misalnya terhadap bangsa Tionghoa. Ketika May sampai ke Tionghoa, ia begitu sangat menikmati keindahan negeri itu. Namun ia sangat menyayangkan kekeliruan pandangan Barat terhadap bangsa Tionghoa, yang senantiasa digambarkan sebagai bangsa yang aneh yang oleh sejarah dunia sudah lama dijadikan bahan tertawaan. Dan pandangan tersebut ditunjang oleh banyaknya buku, koran, dan terbitan lain yang menyebabkan penilaian tersebut semakin tersebar luas. “Kita menghirupnya saat bernafas, menelannya mentah-mentah, sampai pada gilirannya mendarah-daging dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari alam pikiran, sehingga tak pernah terlintas dalam benak kita untuk mempertanyakan apakah penilaian tersebut memang benar dan berdasar. Ingin saya (May) tambahkan di sini, bahwa oang Tionghoa mempunyai sikap serupa terhadap orang Barat. Sejak muda sampai tua-renta mereka hanya mengenal satu pandangan mengenai orang Barat yang selalu diulang-ulang, yaitu bahwa kita hanyalah orang-orang pandir yang tak patut mendapatkan tempat dalam sejarah dunia, karena kita dengan angkuh menuntut pengakuan sebagai yang paling unggul tanpa menghiraukan bangsa-bangsa lain. Dengan kata lain, orang Tionghoa memandang kita dengan cara sama kita memandang mereka.

Perjalanan May negeri-negeri Timur sebagai penyebar gagasan mengenai martabat manusia membawa pencerahan, setidaknya bagi tokoh-tokoh yang terlibat dalam novel ini. Salah seorang yang tersadarkan adalah mitranya, seorang gubernur, yang selama ini terkungkung di balik tembok prasangka yang berdasarkan kebangsaan dan kedudukan. Sang gubernur begitu terharu melihat Sejjid Omar sebagai seroang muslim yang mau melakukan apa saja bagi sihdi nya (panggilan Sejjid Omar terhadap Karl may) yang Kristen dan Tsi, seorang pemuda dari Tionghoa yang ternyata sangat cerdas dan mempunyai wawasan yang luas.

“Omar dan Tsi sikap mereka terhadap saya begitu sopan, begitu bersahaja, tetapi entah kenapa saya merasa diam-diam dijadikan bahan tertawaan. dan saya tidak suka itu! Lagi pula, apa yang mereka tertawakan? Tentunya pemahaman saya tentang bangsa lain! Selama ini semua bangsa lain tak berguna! Mereka tak berpendidikan, terbelakang, bodoh, dan lancang! Dijadikan umpan meriam di medan perang pun nyaris tidak bisa! Seluruh dunia sebetulnya milik kami, hanya kami. Kehadiran mereka sekadar untuk menangani pekerjaan rendah yang tidak pantas dikerjakan oleh kami!”

Sang gubernur makin tersadarkan, ketika bertemu dengan seorang Melayu yang ternyata sangat kontradiktif dengan pandangan dia sebelumnya. “Betapa berbeda pandangan saya mengenai orang Melayu dulu dan sekarang! Mereka orang terbaik di dunia, gagah, cerdas dan bertenggang rasa, lemah lembut, pemaaf, tidak egois, adil, dan terutama ramah. Makin lama saya makin yakin bahwa kita seharusnya mencontoh mereka!”

Membaca novel ini, kita diajak untuk ikut berpetualang ke dunia lain, diajak untuk menyelami pergolakan batin para tokoh dalam novel ini. Secara perlahan namun tanpa menggurui May mengajak pembaca untuk mengubah pandangannya menyangkut agama dan ras yang berbeda. Walau sarat dengan renugnan-renungan filosofis, tidak membuat novel ini menjadi berat dan serius. Layaknya sebuah cerita, novel ini teap menghibur.

Sesungguhnya lewat novel ini, May menyeru kepada umat manusia agar dapat membebaskan dri dari namanya ‘prasangka’. Karena prasangka inilah yang telah menggerogoti sendi-sendi kedamaian yang ada di muka bumi. Bahkan dengan tegas May menyebut prasangka sebagai tragedi umat manusia.

Jika saja kita mampu menyerap pesan-pesan yang terkandung dalam novel ini dan secara bersama-sama mengamalkannya dalam pergaulan kehidupan sehari-hari. Bukan mustahil konflik-konflik yang bermuatan SARA tidak akan terjadi lagi. Dan Damai di Bumi! pun bukanlah suatu impian. (Inda Zuraida) ***

posted by : Mahendrani

sumber:

http://forumm.wgaul.com/archive/index.php/t-12133.html